Uncategorized

Membaca Ulang Fenomena Partai Politik di Pemilu 2019

Foto : istimewa

IDENTITAS partai politik yang kuat di era tahun 40-50 an mulai redup, Soekarno membubarkan beberapa partai politik yang dianggap menganggu stabilitas nasional. Saat Soekarno jatuh dan  rezim Soeharto berkuasa politik-politik aliran yang berbasis identitas tersebut benar-benar hilang. Kebijakan politik era orde baru dalam jangka panjang memberi dampak yang berpengaruh pada perilaku pemilih di era reformasi saat ini. Adanya kebijakan floating mass membuat konsentrasi pemilih bergeser ketengah dan cenderung mengabaikan ideologi dalam pilihan politiknya, pemilih lebih cenderung melihat tokoh dan pada level tertentu pemilih dalam kategori ini lebih rasional dengan melihat program partai.

Kondisi ini memberikan pengaruh yang cukup siknifikan terhadap partai politik, dimana partai politik harus menyikapi perubahan kategori pemilih ini dengan menjadikan partai lebih terbuka dan tidak hanya terpaku pada basis massa dan ideologi semata. Partai politik yang kaku pada basis masa dan ideologi tertentu akan tertinggal dan cenderung akan sulit mendapatkan dukungan dari pemilih, sehigga dalam kondisi ini trasformasi partai politik dari partai massa yang cenderung  menjadi partai yang lebih terbuka dan menangkap semua aspirasi pemilih (catch-all) menjadi sebuah pilihan rasional yang harus diambil oleh partai politik.

Dengan kata lain, partai juga berfikir rasional bahwa konsentrasi pemilih mengambang dan yang bergeser ketengah harus disikapi dengan partai yang bersifat terbuka. Partai bukanlah institusi pasif yang sekedar menunggu pengaduan aspirasi yang berkembang, sebab kegagalan partai dalam menyesuaikan diri merupakan penyebab utama kematian partai politik. Karena itu untuk bisa bertahan partai politik harus menerima pluralisme, bersikaf inklusif, non-sektarian dan non-diskriminatif. Karena itu format baru partai catch-all menjadi sebuah alternatif yang harus menjadi pertimbangan bagi partai politk.

Format ini menggunakan pragmatisme dan rasionalias sebagai pilar penyangga sistem politik yang demokratis. Dengan prinsip pragmatisme dan rasionalitas ini dimungkinkan bagi masyarakat untuk menyikapi setiap persoalan tanpa distorsi ideologis dan tanpa kekakuan sikap partisan.

Perubahan partai politik menjadi partai catch-all merupakan suatu fenomena yang kompetitif. Suatu partai cenderung menyesuaikan diri dengan gaya saingannya yang berhasil, karena mengharapkan keuntungan atau karena takut dalam pemilihan. Partai catch-all adalah partai massa yang mempropesionalisasi organisasi kepartaiannya dan melakukan penyesuaian ideologi dengan tujuan merangkul pemilih yang lebih luas di luar basis kelas, maupun agama tempat mereka berasal. Partai catch-all lebih berorientasi pada pencarian suara (vote-seeking) dimana partai sangat mempertimbangkan untung-rugi secara elektoral setiap kebijakan yang diambil. Pengembangan kebijakan partai adalah menyesuaikan strategi partai untuk memaksimalkan perolehan suara partai.

Jika suatu partai tidak bisa berharap untuk merangkul semua kategori pemilih, setidaknya partai tersebut bisa berharap meraih lebih banyak pemilih dari kategori-kategori yang kepentingannya tidak terlalu bertentangan satu-sama lain, perbedaan-perbedaan kecil antara kelompok dapat ditekan dengan menekankan pada program-program yang menguntungkan keduanya atau dengan kata lain partai akan mengambil program yang sedang menjadi isu dikalangan pemilih yang menjadi target sementasi pemilihnya.

Gejala pergeseran partai politik ini bisa dilihat kecenderungan partai yang mendeklarikan diri sebagai partai “tengah” yang terbuka untuk semua. Partai politik yang selama ini dikesankan sebagai partai politik yang sektarian dengan basis massa tradisionalnya ramai-ramai menyatakan diri sebagai partai terbuka. Trend politik kini bergerak meninggalkan ruang-ruang ideologis, hal yang selama ini dianggap tabu. Itu pun sudah terbantahkan. Rivalitas Islamisme dan nasionalisme tidak lagi berada dalam wilayah ideologis. Simbol-simbol agama juga tak lagi menjadi pemikat untuk menarik simpati pemilih.

Pembentukan Baitul Muslim Indonesia (BMI) oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan deklarasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi partai yang terbuka semakin memperkuat sinyalemen runtuhnya aliranisasi politik. Maka tak mengherankan bila dalam musyawarah kerja nasional (Mukernas) di Pulau Dewata Bali, PKS mendeklarasikan diri sebagai partai yang terbuka dan pluralis. Pragmatisme politik tentu menjadi pemicu perubahan tersebut.

Islamisme sebagai ideologi politik juga sudah tidak lagi mendapatkan tempat yang signifikan dihati para pemilih. Jadi, tidak seperti Pemilu 1955, ketika aliranisasi politik masih menguat dan rivalitas ideologis antara partai Islam dan sekuler menjadi sangat kentara. Kini, politik aliran telah kehilangan makna, apalagi setelah perubahan citra PKS menjadi partai pluralis dan terbuka. Menjadi sulit kemudian membedakan antara partai Islam dan partai sekuler.

Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan yang kentara antara partai Islam dan sekuler, baik pada ranah ideologi maupun program. Apa yang selama ini dianggap tabu bagi partai sekuler, kini sudah terbantahkan. Partai sekuler seperti PDIP berhasil mewadahi kepentingan kelompok Islam melalui pembentukan BMI. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), baik PKS maupun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga sudah mulai akrab dengan jargon-jargon pluralisme dan inklusivisme. Dalam banyak kesempatan, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali sering menengarai komitmen PPP untuk menjadi partai terbuka dan plural.

Fenomena politik ini menjelaskan bahwa sekularisasi partai-partai yang berbasiskan Islam menjadi tidak terelakan. Dan, perlahan sekularisme akan menjadi pilihan politik partai-partai Islam dan masyarakat politik Indonesia. Perubahan kultur politik partai-partai Islam ini menjelaskan betapa pada level elite politik Islam tidak terjadi kontinuitas ideologis. Sebagian kalangan beranggapan bahwa politik aliran kembali menemukan momentumnya pasca rezim orde baru tumbang, akan tetapi dalam perjalanannya politik aliran sebagaimana yang dipersepsikan oleh sebagian kalangan justru tidak mendapat tempat dihati pemilih. Politik aliran dipandang sebagai biang perpecahan yang mengkotak-kotakkan pemilih dan partai politik itu sendiri.

Politik aliran dihidupkan kembali dengan motif dan tujuan politik dari kelompk tertentu. Langkah ini diambil sebagai upaya mengerdilkan saingan politiknya yang mempunyai basis massa tradisional untuk mempersempit ruang gerak partai tersebut sehingga sulit mendapat dukungan yang luas dari masyarakat pemilih. Sementara itu disisi lain partai yang mempunyai basis massa tradisional bersusah payah membangun citra sebagai partai terbuka dan berusah keluar dari kategori partai sektarian yang melekat dengan dirinya sebagai partai yang berasal dari kelompok dan basis masssa tertentu.

Transformasi partai politik menjadi partai yang lebih terbuka (catch-all party) sesungguhnya adalah respon positif dari partai politik dalam membaca karakter dan perilaku pemilih yang cendrung mencair dan bergeser ketengah, sehingga dibutuhkan partai politik yang juga mampu menampung aspirasi dan kepentingan dari pemilih yang jumlahny cukup besar.

Pergeseran ini berdampak pada mencairnya ideologi partai politik yang tidak bisa kaku pada basisi ideologi tertentu dan dituntut mampu untuk mewakili banyak aspirasi dan kepentingan dari berbagai kelompok. Jika partai tidak mampu melakukan transformasi maka partai tersebut akan ditinggalkan oleh pemilih. Dengan  kata lain transformasi partai politik ini telah menggeser dominasi politik aliran, Politik aliran menjadi tidak lagi relevan untuk menggambarkan dinamika politik yang berkembang dewasa ini.[**]

 

Penulis     : Yulion Zalpa, M.A.

Dosen Politik Islam

UIN Raden Fatah Palembang dan Peneliti Lembaga

Riset Politik Mahija Institute Yogyakarta

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com