Uncategorized

DKP dan Dulmuluk Menyiasati Pandemi

Selama masa pandemi, kreativitas dan aktivitas seniman hanya tersalurkan melalui daring. Absen berkesenian secara tatap muka selama masa pandemi membuat rasa rindu membuncah di dada para seniman. Termasuk pelaku seni di Palembang. Buncahan kerinduan itu tak pelak direspon Dewan Kesenian Palembang (DKP). Sebuah gagasan untuk bersilaturahmi di penghujung masa pandemi pun terlontarkan. Tentu saja, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Ketua DKP M Iqbal Rudianto mengemukakan, kegiatan dimaksud digagas secara daring dan  tatap muka. “Kita akan mengombinasikan antara kegiatan virtual dan tatap muka. Dengan mengacu protokol dan ketentuan yang berlaku,” ujarnya di sela-sela rapat membahas rencana menyelenggaraan kegiatan tersebut.

Menurut Iqbal Rudianto, yang akrab disapa Didit, pandemi ini adalah wabah dunia. Karenanya  harus menyikapi bijaksana dengan sabar. Selalu monitor perkembangan yang ada. Selalu Fokus dengan menjaga kesehatan dan mengatasi aktivitas seni yang terkendala. Pekerja kreatif tentu sangat terdampak. “Secara pribadi berharap para seniman menjaga semangatnya untuk terus berkarya dan beraktivitas sepeti biasa tetapi protokol yang, membatasinya. Dilarang berkumpul. Membuat keramaian. Ini membuat kita mengalah untuk menaati peraturan yang dibuat pemerintah.

Suasana ini, tentu saja, “Membangkitkan semangat seniman untuk mulai merapatkan barisan. Bagaimana kita menyikapi di era menuju kenormalan  baru ini. Kalaupun pandemi ini telah berakhir kita telah mendapat pengalaman, bahwa selama ini kita diajak untuk hidup sehat, menjaga kebersihan menjaga jarak,” ujarnya.

Artinya kita jadikan pandemi ini kita lihat sisi positifnya. Mengajarkan kita untuk hidup sehat. Ruang kegiatan ini, menampilkan beberapa karya yang sempat dan telah diciptakan selama pandemi. Ini menunjukkan, bahwa bagi sebagian seniman, barangkali pandemi ini tidak menjadi penghalang

Karenanya, sesuatu yang baik tentu saja, jika DKP mengagas kegiatan yang bisa mengobati kerinduan seninam untuk berkreativitas. Sekaligus membahas berbagai persoalan terkait aktivitas berkesenian. Kegiatan ini rencananya dilaksanakan secara daring (virtual) dan tatap muka. Direncanakan dilaksanakan di Guns Café. Dengan menghadirkan narasumber dari praktisi, akademisi,  pemerhati, dan pihak terkait lainnya. Masing-masing akan diupayakan mengupas tuntas persoalan di enam komite seni yang ada. Yakni, Komite Musik, Teater, Rupa, Sastra, Tari dan Film.

Khusus Dulmuluk, bagi Didit, telah memberikan gambaran bahwa di posisi bagaimana pun kondisi bisa membuat manusia lincah berkelit.

Kondisi sulit, sudah dihadapi para pemain Dulmuluk sebelum masa pandemi. Di masa pandemi, ternyata mereka ada yang bisa menyiasatinya.

Jurus Dulmuluk

Dulmuluk merupakan bagian dari teater tradisional. Selama ini, kehidupan pemain Dulmuluk sudah kembang kempis. Jarang diundang untuk tampil di keramaian gelaran masyarakat, seperti sedekah, perkawinan, ataupun sunatan, membuat napas mereka menjadi tersengal. Akibatnya, bukan sekadar susah bernapas. Tetapi juga sulit mencari sesuap nasi.

Seorang pemain Dul Muluk, Randi Putra Ramadan, mengakui hal itu. Putra pertama dari empat bersaudara pasangan Johar Saad dan Suharti Sani (alhmarhumah) ini merasakan langsung manis hingga getirnya lakon Dul Muluk yang sempat padat undangan hingga minim undangan.

Karenanya, alumnus FKIP Jurusan Sentratasik Prodi Musik ini pun punya kiat-kiat yang ditemukan secara tak sengaja saat Dul Muluk harus mengalami pasang surut.

Randi sendiri, kini selain tetap eksis di Dul Muluk, juga memiliki skill lain, yakni menguasai alat musik. Kini, suami dari Eva Dika Putriana ini dapat tetap bertahan dengan petikan gitar Irama Batanghari Sembilan-nya.

Lebih pas lagi, Randi menyebut jurusnya ketika memasuki masa pandemi ini sebagai rekondisi. “Mungkin kurang pas kalau disebut  revitalisasi atau apalah. Artinya, bagaimana seniman itu bisa menyesuaikan dengan kondisi,” ujar Randi yang sejak umur empat tahun sudah diajak ayahnya belajar men-Dul Muluk.

Dulu, namanya Dulcik. Dulmuluk Cilik. Belajarnya, ya di Pemulutan. “Kalau mau belajar, kami mudik ke sana,” tuturnya. Pemulutan, termasuk wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dan setelah pemekaran, masuk wilayah Ogan Ilir (OI).

Dulu, papar Randi yang melanjutkan pendidikan di SMPN 45 dan SMAN 10 Palembang, dia merasakan bagaimana ramainya undangan. Dalam seminggu, hanya  malam Jumat, yang kosong.

Acara yang mengundang Dulmuluk, biasanya acara hajatan semisal perkawinan, khitanan, ataupun syukuran lainnya. Namun seiring berkembangnya zaman, dan semakin modernnya peradaban manusia maka kesenian teater Dul Muluk semakin ditinggalkan. Terutama, ketika di tahun-tahun organ tunggal mulai merebak.

Skill teaternya, selain didapat dari  Dul Muluk juga didapatnya dari teater di sekolah, baik SMP maupu SMA. Yang paling banyak dan saya mulai sangat aktif di Dul Muluk itu, antara tahun 2002 hingga 2007. “Sampai-sampai terkadang sering telat ke sekolah, Karena memang pementasan itu biasanya dimulai setelah Isya sampai sekitar jam 02-00 WIB. Jadi sekitar  6-7 jam setiap mentas,” ujarnya.

Honornya, berkisar Rp 15.000 sampai pernah Rp 25.000 per orang. “Kalau untuk makan, biasanya dapat dari tuan rumah. Lumayan, idak cukup honornyo tuh,” ujarnya berseloroh.

Kondisi ini pulalah yang membuat dirinya dipaksa menyesuaikan diri. Setamat SMA, dia bekerja di Studio Musik. Sesekali, dengan kebijakan pemilik studio, dia tetap main Dul Muluk. Walau memang sudah agak berkurang. Ayahnya sendiri ketika mulai sepi tanggapan,  merapat ke instansi-instansi. Dan sering diminta tampil untuk meramaikan kegiatan-kegiatan tertentu. Dan itu bertahan hingga sekarang.

Di Studio yang beralamat di Kancil Putih, sempat ngeband bersama teman-temannya, Madan, Aldo, Arif, Rahmat, dan Catur. Randi sendiri menjadivokalis. Band Piramid ini, sempat ikut perlombaan di Bandung, dan masuk 10 besar. Bahkan sempat  bergabung di label. Sayang  kemudian ternyata merupakan jaringan  mafia. Hingga akhirnya mereka kembali ke Palembang dan band itupun bubar.

Untuk urusan musik, Randi sendiri ternyata sempat menikmati profesi pengamen, di seputaran GOR Sriwijaya, yang waktu itu halamannya dibuka untuk tempat kuliner malam hari.

Artinya, rekondisi, bagi Randi senantiasa melekat di kesehariannya. Sampai akhirnya, dia pun melanjutkan pendidikan strata 1 di Universitas PGRI Palembamg, mengambil jurusan musik. Setamat itu sempat menjadi guru di Sekayu, di SMPN 6 Unggulan sebagai guru kesenian dan Eskul.

Namun, jiwa mudanya  tak mampu mengunci dirinya menghilang di dunia pendidikan. Dan, hanya setahun, dia disebut menghilang, lalu kembali ke habitatnya. Ke dunia musik dan Dul Muluk.

Ketika pandemi merebak, maka jurus rekondisinya pun seakan terusik. Protokol kesehatan yang membatasi aktivitas, membuat Dul Muluk dan juga petikan gitarnya menjadi tersendat.

Mau menamplkan Dulmuluk di daring dengan 15-20 pemain dengan durasi cerita yang panjang, tentu tidak memungkinkan.

Karenanya dia pun mengubah format Dulmuluk menjadi seperti sketsa yang pendek dan singkat, dengan durasi sekitar 3 sampai 5 menit. Kostum dan peran, tetap digunakan. Tapi cerita dimodifikasi sedemikian rupa.

Hingga    kini, sedikitnya sudah ada empat cerita yang dimainkan bersama dua temannya, Wong Gerot dan Wak Soleh.

Sejak  SD, Randi yang sempat tiga kali pindah sekolah, dari SDN 129 Lebak Keranji, Lalu SDN 96 Balap Sepeda, dan SDN 438 Plaju, sudah terbiasa bermain di istana negeri Barbari. Nama negeri cerita Dul Muluk bergulir. Dul Muluk sendiri, awalnya berupa pembacaan kisah petualangan Abdul Muluk Jauhari, anak dafi Sultan Abdul Hamid Syah yang bertahta di Negeri Barbari. Peran ini dimainkan saudagar-saudagar Arab pada malam hari sehabis berniaga di Palembang dan sekitarnya. Ternyata kisah yang dicuplik dari buku Syair (Sultan) Abdul Muluk karangan seorang perempuan bernama Saleha ini menarik perhatian  sebagian besar masyarakat Palembang. Sejak itulah pada berbagai kesempatan, sosok saudagar Gujarat itu kerap diundang untuk membacakan dongeng maupun pembacaan kisah Abdul Muluk dalam bahasa Melayu klasik ataupun pantun-pantun bertutur.

Berlanjut kemudian, cerita itu kemudian dimainkan oleh teater-teater tradisional. Termasuklah, Harapan Jaya milik ayah Randi. Atau Melati Jaya, Udin Kinjeng. Karunia, pimpinan Rustam. Begitu juga Citra Mandiri, Mat Gobok. Dan Dulmuluk Tunas Harapan.

Pemain Dulmuluk ini, semuanya lelaki. Kalaupun ada tokoh perempuan, pemainnya adalah lelaki. Biasanya, menurut Randi, pementasan Dulmuluk diiriingi oleh sedikitnya enam pemusik.  Terdiri dari biola,  bende (gong), jidur (beduk), dan bas senar. Karenanya, sekali naik panggung, pemain yang terlibat antara 15 sampai 20 orang termasuk pemusik.

Sempat ikut kegiatan mentas daring yang dibiayai oleh Kemendikbud, lalu juga dibiayai oleh Diknas Sumatera Barat. Dan terakhir, dengan dana bantuan dari Bank Indonesia, akan mementaskan lakon Dulmuluk dengan melibatkan tiga grup Dulmuluk lainnya, Melati Jaya dan Karunia. “Itu semua merupakan bagian dari jurus dan rekondisi yang bisa saling menyesuaikan,” ujar Randi yang kini juga menguasai irama batanghari sembilan.

“Saya dapat ilmu petikan irama batanghari sembilan, dari bangku kuliah,  karena ada mata kuliah khusus untuk itu. Ada lagu yang terbilang wajib, yakni Tiga Serangkai. Jadilah kini, Randi pun dikenal, sebagai pemetik gitar tunggal Irama Batanghari sembilan.

Diantara yang sedikit, Randi kini termasuk generasi milenial pelestari Dulmuluk dan Irama Batang Hari Sembilan. Kondisi telah mengajarkan dirinya untuk bisa selalui menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Bermain peran di panggung telah mengajari kami banyak pengalaman. Pentas di panggung dipelajari dari kehidupan sehari-hari.

“Barangkali itulah yang membuat kami bisa punya jurus bersisasat. Terbiasa bersandiwara di panggung, dan untuk bersandiwara dengan lakon-lakon itu, kami menyerap dari kehidupan sehari-hari,”   ujarnya sedikit serius.

 

Palembang, 27 Juli 2020

 

Muhamad Nasir

Penggiat Seni, anggota Komite Sastra DKP

 

 

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com